TERANG TUHAN
Terang Tuhan Bersinar Bagimu

Mei
31

Manusia mempunyai kehendak bebas, sehingga ia sendiri bertanggung jawab atas dosanya. Tetapi bukan bebas dalam arti bahwa ia sendiri dapat luput dari perhambaan dosa. Secara antropologis memang manusia mempunyai kehendak bebas, jadi bebas dari paksaan. Tetapi secara religius tidak, sebab tidak mungkin ia sendiri dapat memilih mengikuti Tuhan.

Manusia bebas dalam arti religius jika ia dibebaskan oleh Kristus dan diperbaharui oleh Roh. Bagi orang Kristen pengertian ‘kebebasan’ atau ‘kemerdekaan’ berbeda dengan pandangan humanis.

Mulai dari aliran Stoa di Yunani kuno kebebasan dilihat sebagai bagian dari ataraxia kemampuan untuk tidak terpengaruh dan tidak tergerak. Dan sekaligus mampu untuk berkuasa atas nasib yang menentukan kehidupan. Bagi orang Yunani seorang merdeka berbeda dengan seorang budak. Seorang budak harus menaati tuannya, dan seorang merdeka memang bebas terhadap orang lain. Namun, seorang merdeka tetap taat kepada perintah-perintah negara dan menyadari tanggung jawabnya.

Seorang Kristen tidak akan memilih antara determinisme atau indeterminisme, yakni antara keterikatan dan kebebasan. Bagi seorang Kristen kebebasan tidak berarti boleh mengatur dirinya sendiri, tetapi bahwa ia terikat kepada Tuhan Allah, dan justru itulah kemerdekaannya.

Kebebasan Kristiani

Kalau kita membicarakan kebebasan Kristiani, harus kita membedakannya dari kebebasan secara filsafat yang menunjukkan otonomi yang mutlak. Kebebasan adalah sebuah kata Alkitabiah tentang pergaulan dengan Allah tanpa halangan, di dalam Kristus, sebagai jalan kebenaran. ‘Bebas’ berarti berada dalam lingkungan asal, bersama dengan Allah. Pada saat manusia mau memperluas lingkungannya ia mirip seekor ikan yang melompat dari dalam air dan mati di atas darat. Pembebasan adalah bahwa ikan dikembalikan ke dalam air. Kebebasan Alkitabiah itu tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan. Kita boleh bergaul dengan Allah dan menikmati segala yang diberikan-Nya. Bandingkan Galatia. 3,4,5.

Kebebasan dan Hukum

Kita telah dibebaskan dari kutuk dan kuk hukum. Tetapi hukum sendiri itulah baik, adil, dan benar. Hukum mosaica telah menjadi hukum Kristus, sedangkan interpretasi orang Farisi yang mendangkalkannya ditolak oleh Kristus sendiri dalam Khotbah di bukit..

Seorang yang mendalami hukum Kristus, mendalami hukum kemerdekaan yang sempurna (Yakobus 1). Pada waktu Perjanjian Lama orang beriman tidak merasakan hukum sebagai penyiksaan atau beban, Mazmur. 119, Mazmur 92. Jadi, jangan memisahkan Hukum dan Injil, seperti sering dilakukan oleh teolog-teolog Luteran. Kata Roma 10:4 tentang Kristus yang adalah Telos (tujuan, penggenapan) dari hukum Taurat bagi mereka yang percaya, harus diartikan bagi orang beriman hukum bukan jalan keselamatan, sekalipun pada waktu Perjanjian Lama memang sering ditafsir demikian, apalagi oleh orang Yahudi pada zaman rasuli. Tetapi orang yang percaya dengan sungguh-sungguh tidak pernah melihat hukum seperti itu, bahkan pada masa Perjanjian Lama pun tidak. Allah yang menyelamatkan.

Berbeda sekali dengan orang Luteran itu adalah pandangan Barth yang mengatakan bahwa hukum adalah sebuah bentuk Injil. Pandangan itu tak dapat disetujui sebab menghilangkan rasa bersalah.

Jemaat Kristen telah menerima hukum mosaica dari tangan Kristus dan sebagai hukum Kristus, dan bagi jemaat itu fungsi hukum dapat dibagi tiga:

  1. Usus legis primus: usus politicus atau civilis: bermanfaat bagi kehidupan politik.
  2. Usus legis secundus: usus pedagogicus atau elenchticus, untuk menunjukkan dosa.
  3. Usus legis tertius: usus didacticus atau normativus, untuk menjadi pedoman bagi pengucapan syukur.

Usus primus, mengekang kejahatan, tetapi tidak mengalahkannya.

Melalui hukum itu Allah mengatur kehidupan di bumi. “sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintahpemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya” (Rm. 13:1-2). Hukum Allah adalah pakaian satu-satunya yang cocok untuk dunia. Usus primus itu juga adalah alat dalam tangan Kristus, sebab Dialah yang mempunyai kuasa baik di surga maupun di bumi.

Usus secundus, sering dikaitkan dengan Galatia 3: 24, Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman. dari situ juga kata pedagogicus.

Cuma, tidak terlalu tepat sebab menurut nas tersebut hukum adalah pedagogis/bersifat mendidik, sampai Kristus, jadi sekarang tidak lagi. Dalam sejarah keselamatan fungsi tersebut telah berlalu.

Namun, hukum tetap berlaku sebagai cermin untuk mengenal dosa, sebab dalam diri kita adalah perjuangan antara roh dan daging (Roma 7:13 dan seterusnya). Tetapi Injil mendahului Hukum, bandingkan dengan pendahuluan hukum Taurat. Mengenai kata pedagogis, dulu seorang pedagogis tidak selalu disenangi ia bukan saja pendidik, tetapi juga penjaga.

Usus tertius, berlaku dalam dan untuk pengudusan hidup.

Kata kerja “Menguduskan” memiliki makna menyatakan atau mengakui menjadi dapat di sucikan, di kuduskan (Lukas 11:2, 1 Petrus 3:15), memisahkan dari hal-hal yang najis dan mendedikasikan kepada Allah, di khususkan untuk tujuan suci (Matius 23:17, Yohanes 10:36) dan dibersihkan dari hal-hal kotor (Efesus 5:26, 1 Tesalonika 5:23, Ibrani 9:13) Dalam tangan Kristus, hukum berlaku sebagai pedoman.

Seorang perfeksionis beranggapan bahwa kesempurnaan sudah bisa dicapai dalam kehidupan ini, dan ia melupakan perjuangan seperti dalam Roma 7 :14. Mereka menafsir Roma 7 secara lain yaitu bahwa Paulus berbicara tentang hidupnya sebelum bertobat. Semboyan Reformasi ‘simul iustus dan peccator’ dilupakan. Kehendak manusia memang tidak bebas lagi, dan harus dibebaskan, namun belum sampai sempurna.

1 Yoh 3:9 harus dikaitkan dengan 1 Yoh. 1:10, dan 1 Yoh. 2:1. Seandainya sudah sempurna, mengapa doa ‘Bapak kami’ mengatakan jangan membawa kami ke dalam pencobaan? Perlu disadari Fil. 3 :12.

Seorang perfeksionis menyangka bahwa seorang beriman bukan saja bebas dari utang dosa tetapi juga dari kuasa dosa.  John Wesley berpikir bahwa sesudah pembenaran oleh iman, dosa manusia dapat dimenangkan secara riil, melalui tindakan Allah yang khusus, yaitu ‘second blessing’, Wesley ditentang oleh Ludwig von Zinzendorf, pelopor Pietisme dari Jerman.

Zinzendorf benar, sebab ‘tamim’ (Ibr) dan ‘teleios’ (Yun) tidak menunjukkan kesempurnaan etis tetapi hidup yang ditujukan kepada Allah dengan baik. 1 Joh 3:9 tidak menunjukkan kesempurnaan etis tetapi harus dilihat dalam pertentangan dengan orang gnostik yang mengatakan bahwa mereka yang mengenal Allah tidak melakukan dosa lagi. Dosa itu tidak kena diri mereka, hanya tubuh saja. Karena itu Yohanes mau menyatakan bahwa tidak mungkin mereka benar-benar mengenal Allah, sebab kalau begitu benih Allah ada di dalamnya, dan juga Kristus presens (hadir) (4:4). ‘Tidak bisa berdosa’ bukan kenyataan, tetapi norma yang jelas dan masuk akal tidak bisa seorang Kristen melakukan yang demikian.

Mei
09

Romans 13: 9-10, “Because of the word: do not commit adultery, do not kill, do not steal, do not covet and any other word, have been knotted in this word, namely: Love your neighbor as yourself! Love does no harm to fellow human beings, so love is the fulfillment of the law. “

Part of the way of being a life offering to God is explained practically in Romans 13. We have learned how we can serve God with our spiritual gifts and the way we must live as in Romans 12. In Romans 13 we are taught obedience to the government and the way we can love our fellow humans.

The Word of God not only gives us commandments, it also gives us examples so that we as humans can understand and remember what God wants us to do. So after we learned in the past that love fulfills the law, the apostle Paul began to give us various illustrations. He quoted four direct laws from the Ten Commandments and one law from the Priesthood book.

Paul begins by saying that God’s love does not commit adultery, when we love God we must not love something else with the same love. When we dishonor ourselves by loving money or power, we ignore the sanctity of love for God. We must not commit adultery with others if we truly love God.

If we love God, we must not do anything that is not morally right. Adultery does not come from love but from lust. And the situation is the same as stealing and killing. This is very contrary to the nature of love. Love never steals or kills. Love gives voluntarily and always builds others and does not bring down anyone. Love does not covet, love does not covet someone else’s.

Deuteronomy 5:21 says, “Do not covet your neighbor’s wife, and do not desire the house, or the fields, or the servants of men, or servants of women, or cattle, or donkeys, or whatever your neighbor has.”

  • The first symptom of coveting is when we always want more than what we already have more than enough.
  • The second symptom of coveting is the willingness to get something that we are not entitled to have.
  • The third symptom of coveting is that we use people to get it.
  • The fourth symptom of coveting is that we always want to get something for ourselves and never want to share our things with others.

There is a Jewish story about a poor man who was given three wishes. But there is a condition, that whatever is desired will be granted, but the neighbor will be given the same amount twice.

First he wants a beautiful wife and he gets it, but his neighbor gets two beautiful wives. Second he wanted a palace and he got it, but his neighbor received two palaces. So full of jealousy he asked in the third request to be blind in one eye and indeed it happened, and his neighbors became blind in both eyes.

Envy is the opposite of love. Love is always satisfied with what has been given to us from God, love always relies and believes in God’s care. And love has nothing to do with evil. 1 Corinthians 13: 6 says, “He does not rejoice in injustice, but in truth.”

The nature of wanting other people’s things is not visible from the outside and when we start to covet someone else’s property often no one knows, but God knows. And when we want something, we basically say that God is unjust, God does not give us the same thing as given to others.

The important thing we need to realize at the end of our lives is: nothing can be carried. And the way to measure the success or failure of our lives is by what we have when we die. At Matthew 6:20 Jesus said, “But gather up for yourselves treasures in heaven; in heaven the moths and rusts do not damage it and thieves do not dismantle and steal it. “

All sins come from our hearts, Jesus said at Matthew 15:19, “Because from the heart come all evil thoughts, murder, adultery, fornication, theft, perjury and blasphemy.” But thinking about sin or feeling angry or having thoughts of hate alone is itself a sin.

Jesus explained that before you sin, your mind has blamed you before the sin was committed. Matthew 5: 27-28 says, “You have heard the word: Do not commit adultery. But I say to you: Everyone who looks at a woman and wants her has already committed adultery with her in her heart.

If you really love God, you don’t need to be afraid to hear the commandments. Because if you really love God, and truly love your neighbor as yourself, you will automatically be encouraged by the Holy Spirit to follow these laws.

In the parable of the good Samaritan, Jesus explained that our neighbor is everyone who has something to do with us, namely people at our workplace, people who often play with us, people who sit next to us in the church and also the people we meet in the shops.

Loving your neighbor does not require a high self-view. In fact, this requires a high view of others. Paul says in Philippians 2: 3-4, “by not seeking self-interest or vain praise. Instead let humbly that one considers others more priority than himself; and let not everyone only pay attention to his own interests, but the interests of others as well.

What Paul means is that if God’s love truly rules in your heart, God’s love will protect you from sinning divinely and show you automatically to truth. Christians obey God not because they are afraid of their sins, but because they love God and He has given them His love so they can love their neighbors.

There are some Christians who from the outside appear to be of high moral standing because they want to be accepted by their good behavior. But without faith from the heart, all that is useless because God is more concerned with the heart.

Isaiah 29:13 says, “And the Lord has said:” Because this people came close to their mouths and glorified me with their lips, even though their hearts were far from me, and their worship of me was only a command of memorized humans. “

Who do we want to please? Do we want to give a good impression to those who know us or our heart’s desire is to love God with a sincere heart? Wherever our hearts go, God knows immediately.

God’s Word is full of promises of blessings and gifts for those who believe, even though they are not always fulfilled according to our wishes or that please our fleshly needs. But such blessings are not a good reason to obey and love God. Christians reject evil and do good only because there is a love of God in their hearts that drives them to do it. Mature Christians will in the end always do what God wants.

Living according to law and living by love are inseparable, instead they cannot be separated. God’s law cannot be obeyed if we do not have love. Love according to Paul is the fulfillment of the law.

Western culture has experienced a great loss of trust in law and religion, because the two have been separated from each other. When we distance ourselves from the concept of an authoritative religion or the concept of the existence of God, we cannot understand the existence of absolute truth.

And what remains is the concept of relativism, which all depends on the situation, which is a constantly changing basis that results in no foundation for the legal system or moral attitude. Only God’s truth is a solid foundation that can sustain moral and legal attitudes. Rules without absolute foundation are rules without authority, and can only be authorized by force.

Jesus explained in Matthew 5: 17-19, “Do not think that I have come to destroy the law or the prophets. I did not come to abolish it, but to fulfill it. For I tell you the truth, until the heavens and the earth have not vanished, one jot or one spot will not be removed from the law until everything happens. Therefore whoever negates even one of the commandments of the law, and teaches it to others, he will occupy the lowest place in the kingdom of heaven; but whoever does and teaches all the commandments of the law will occupy a high place in the kingdom of heaven. “

Jesus’ warning when He began with verse 17, “Do not think” shows that people misunderstand His teachings. Because religious teachers have added many human traditions, they think Jesus removed the law because He did not follow these traditions.

The Rabbis have created traditions that are actually easier to obey than the Law, which exists in the environment of human ability, which can be done alone based on one’s own abilities and strengths. But this system becomes a system of self-righteousness that lowers God’s standards and elevates what they consider to be self-goodness.

Jesus eliminates all traditions such as the washing tradition, the special tithe, the way to commemorate the extreme Sabbath, people think that Jesus overthrew the law of God. But Jesus’ desire was to teach them the true law and explain to them that all the traditions were merely unnecessary human attachments.

What Jesus said was that there is something absolute, the eternal sovereign law of God. God has established His absolute and eternal law and has told it to humans. And as the Son of God, Jesus stated that He did not come to teach and do anything that was contrary to the law, but He came to fulfill it entirely.

We always hear that now the situation has changed and the Word of God is no longer valid today. In fact the truth is the opposite. The Bible is always influential because it is the perfect and infallible Word of God.

From the outside it seems that the world has changed a lot, but human nature and human sin and rebellion remain the same and have not changed at all. The character of the sinner is the same sin as before. Thieves in Bible times committed the same theft as now. Maybe he’s a smarter thief now, but his heart is the same as before.

And the concept of love still applies the same as before. Jesus did not identify Himself with the Pharisees or Herod or Rome; instead, He openly and lovingly identified Himself with those who were banished, sick, sinful and in need of various kinds of help.

Jesus proclaimed grace and mercy. All the other rabbis discuss external requirements, only he talks about heart problems. They exalted themselves above others and they wanted to be served, while Jesus humbled Himself towards others and became their Servant.

Jesus fulfilled the law with His teachings, where the Old Testament is filled with more explanation. Jesus fulfilled the law by interpreting it more deeply. Jesus explained the original meaning of the law into something that is always related to people’s hearts and not external behavior.

Jesus also fulfilled the law by fulfilling all his requirements. In His life He carried out every part of the law, no one was able to do that and no one would be able to do that. His truth is perfect and He never violates the smallest part of the law. He is a perfect example of truth.

Jesus fulfilled the law not only by teaching it fully and not only by fulfilling it fully. He himself is the full law. Jesus as God is divine truth. What He says and what He does reflects who He was, now and forever.

The Sermon on the Mount He taught what is often called the “Golden Rule” in Matthew 7:12, “Everything you want people to do to you, do the same for them. That is the contents of all the law and the prophets. “

God’s perfect love is best reflected in His children when they treat others as they would like to be treated. And the way we treat others does not depend on the way they usually treat us or how we think they will treat us but the way we want to be treated.

There is a change where Jesus gave us this golden command that had never before existed. The basic principle before this is always suggested negatively. Confucius taught, “Do not treat others, if you yourself do not want to be treated as such.” Rabbi Hillel said, “What you hate yourself, do not do to others.” Greek philosopher Epictetus said, “The sufferings you avoid, don’t give to others.”

All of these statements are only selfish and are not expressions of love. The negative forms of this rule are not gold, because all of this is not motivated by love but motivated by fear and self-salvation and is based only on preoccupation and self-comfort.

Only the Spirit of Christ Himself can give us power to be more concerned with others; and love as He loves us. John 13:34 says, “I give you new commands, that you love one another

Agu
28

Roma 13:9-10, “Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.”

Sebagian dari cara menjadi persembahan hidup bagi Allah diterangkan secara praktis di dalam  Kitab Roma 13. Kita telah belajar bagaimana caranya kita dapat melayani Allah dengan karunia roh kita dan caranya kita harus hidup seperti di dalam Kitab Roma 12. Di Kitab Roma 13 kita diajarkan ketaatan kepada pemerintah dan caranya kita dapat mengasihi sesama manusia.

 Firman Allah bukan hanya memberikan kita perintah-perintah, firman itu juga memberikan kita contoh-contoh supaya kita sebagai manusia dapat mengerti dan mengingat apa yang Allah ingin kita lakukan.

Jadi setelah kita belajar diayat sebelumnya bahwa kasih itu memenuhi hukum, rasul Paulus mulai memberikan kita berbagai ilustrasi. Dia mengutip empat hukum langsung dari Sepuluh Perintah dan satu hukum dari buku Imamat.

Paulus mulai dengan mengatakan bahwa kasih Allah tidak berzinah, pada saat kita mengasihi Allah janganlah kita mengasihi sesuatu yang lain dengan kasih yang sama. Ketika kita mencemarkan diri kita dengan mengasihi uang atau kekuasaan, kita mengabaikan kesucian kasih kepada Allah.

Janganlah kita berzinah dengan orang lain jika kita sungguh mengasihi Allah. Jika kita mengasihi Allah janganlah kita berbuat sesuatu yang tidak benar secara moral. Berzinah itu bukan datangnya dari kasih melainkan dari hawa nafsu.

Dan keadaanya sama seperti mencuri dan membunuh. Ini bertentangan sekali dengan sifat kasih. Kasih tidak pernah mencuri atau membunuh. Kasih memberi dengan suka rela dan selalu membangun orang lain dan tidak menjatuhkan siapapun juga.

Kasih itu tidak mengingini, kasih tidak mengingini milik orang lain. Ulangan 5:21 mengatakan, “Jangan mengingini isteri sesamamu, dan jangan menghasratkan rumahnya, atau ladangnya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu.”

  • Gejala pertama sifat mengingini adalah ketika kita selalu ingin lebih banyak lagi dari apa yang kita sudah miliki lebih dari cukup.
  • Gejala kedua sifat mengingini adalah kemauan untuk mendapatkan sesuatu yang kita tidak berhak memiliki.
  • Gejala ketiga dari sifat mengingini adalah bahwa kita memanfaatkan orang untuk mendapatkannya.
  • Gejala keempat dari sifat mengingini adalah bahwa kita selalu ingin memperoleh sesuatu untuk diri kita dan tidak pernah ingin membagikan milik kita dengan orang lain.

Ada kisah Yahudi tentang seorang yang miskin yang diberi tiga permintaan. Namun ada suatu kondisi, yaitu apapun yang diiginkan akan dikabulkan, namun tetangganya akan diberikan yang sama dua kali lipat.

Pertama dia inginkan isteri yang cantik dan dia mendapatkannya, namun tetangganya dapat dua isteri cantik. Kedua dia inginkan suatu istana dan dia mendapatkannya, namun tetangganya menerima dua istana. Jadi penuh dengan rasa iri hati dia dalam permintaanya yang ketiga minta untuk menjadi buta dalam satu mata dan memang itu terjadi, dan tetangganya menjadi buta dalam kedua matanya.

Iri hati itu sebaliknya dari kasih. Kasih selalu puas dengan apa yang telah diberikan kepada kita dari Allah, kasih selalu bersandar dan percaya kepada pemeliharaan Allah. Dan kasih tidak berhubungan dengan kejahatan apapun juga. 1 Korintus 13:6 mengatakan, “Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.”

Sifat mengingini barang orang lain tidak kelihatan dari luar dan pada saat kita mulai mengingini milik orang lain sering tidak ada yang tahu, namun Allah tahu. Dan ketika kita menginginkan sesuatu, kita pada dasarnya mengatakan bahwa Allah itu tidak adil, Allah tidak memberikan kita hal yang sama seperti yang diberikan kepada orang lain.

Yang penting kita perlu menyadari pada akhir kehidupan kita adalah: tidak ada sesuatupun yang bisa dibawa. Dan caranya mengukur sukses atau kegagalan hidup kita adalah dengan apa yang kita miliki pada saat kita meninggal. Di Matius 6:20 Yesus mengatakan, “Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.”

Semua dosa berasal dari hati kita, Yesus mengatakan di Matius 15:19, “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.” Namun memikirkan dosa atau merasa marah atau memiliki pikiran benci saja sudah dengan sendirinya merupakan dosa.

Yesus menjelaskan bahwa sebelumnya Anda berbuat dosa, pikiranmu sudah menyalahkan Anda sebelum dosa itu dilakukan. Matius 5:27-28 mengatakan, “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.

Jika Anda benar mengasihi Allah, Anda tidak perlu merasa takut mendengar perintah-perintah itu. Karena jika Anda benar mengasihi Allah, dan benar mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, otomatis Anda akan didorong Roh Kudus untuk mengikuti hukum-hukum ini.

Dalam perumpamaan orang Samaria yang baik, Yesus menerangkan bahwa tetangga kita itu adalah setiap orang yang ada hubungannya dengan kita, yaitu orang-orang ditempat kerja kita, orang-orang yang sering main sama kita, orang-orang yang duduk disebelahan kita di gereja dan juga orang-orang yang kita ketemu di toko-toko.

Mengasihi sesamamu manusia tidak memerlukan suatu pandangan diri yang tinggi. Malah ini memerlukan pandangan orang lain yang tinggi. Paulus mengatakan di Filipi 2:3-4, “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.

Maksud Paulus adalah jika kasih Allah benar berkuasa di dalam hati Anda, kasih Allah itu akan melindungi Anda dari dosa secara ilahi dan menunjukkan Anda secara otomatis kepada kebenaran. Orang Kristen taat kepada Allah bukan karena ketakutan akibat dosa mereka, akan tetapi karena mereka mengasihi Allah dan Dia telah memberikan mereka kasih-Nya supaya mereka dapat mengasihi tetangga mereka.

Ada beberapa orang Kristen yang dari luar kelihatannya hidup bermoral tinggi karena mereka ingin diterima-Nya berdasarkan kelakuan baik mereka. Namun tanpa adanya iman dari hati, semua itu percuma saja karena Allah lebih mementingkan hati.

Yesaya 29:13 mengatakan, “Dan Tuhan telah berfirman: “Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan.”

Kita mau menyenangkan siapa? Apakah kita ingin memberi kesan baik kepada orang-orang yang mengenal kita atau keinginan hati kita adalah mengasihi Allah dengan hati yang tulus? Kemanapun hati kita menuju, Allah langsung tahu juga.

Firman Allah penuh dengan janji-janji berkat dan hadiah bagi mereka yang beriman, walaupun itu tidak selalu terkabul sesuai dengan keinginan kita atau yang menyenangkan kebutuhan kedagingan kita.

Namun berkat-berkat seperti itupun bukan alasan baik untuk menaati dan mengasihi Allah. Orang-orang Kristen menolak kejahatan dan berbuat baik hanya karena ada kasih Allah didalam hati mereka yang mendorong mereka untuk melakukannya. Orang-orang Kristen dewasa pada akhirnya selalu akan melakukan apa yang diinginkan Allah.

Hidup menurut hukum dan hidup oleh kasih tidak terpisah, malah mereka itu tidak dapat dipisahkan. Hukum Allah tidak dapat ditaati jika kita tidak memiliki kasih. Kasih menurut Paulus adalah kegenapan hukum Taurat.

Kultur Barat telah mengalami kehilangan kepercayaan yang besar di dalam hukum dan agama, karena keduanya telah dipisahkan satu sama lain. Ketika kita menjauhkan diri kita dari konsep agama yang berotoritas atau konsep adanya Allah, kita tidak bisa mengerti adanya kebenaran mutlak.

Dan yang tinggal adalah konsep relativisme, yaitu semuanya bergantung kepada keadaan, yaitu suatu dasar yang selalu berubah yang mengakibatkan tidak ada fondasi bagi sistem hukum-hukum atau sikap moral. Hanya kebenaran Allah adalah fondasi kokoh yang dapat menopang sikap moral dan hukum. Peraturan-peraturan tanpa fondasi mutlak adalah peraturan tanpa otoritas, dan hanya dapat berotoritas dengan paksaan.

Yesus menerangkannya di Matius 5:17-19, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.”

Peringatan Yesus pada waktu Dia mulai dengan ayat 17, ‘Janganlah kamu menyangka’ menunjukkan bahwa orang-orang salah mengerti ajaran-ajaran-Nya. Karena guru-guru agama telah menambahkan banyak tradisi manusia, mereka kira Yesus menghilangkan hukum Taurat karena Dia tidak mengikuti tradisi-tradisi tersebut.

Para Rabi telah menciptakan tradisi-tradisi yang sebenarnya lebih gampang ditaati dari pada hukum Taurat, yang ada didalam lingkungan kemampuan manusia, yang dapat dilakukan sendiri berdasarkan kemampuan dan kekuatan sendiri. Namun sistim ini menjadi sistim kebenaran diri yang merendahkan standar Allah dan meninggikan yang mereka anggap adalah kebaikan diri.

Yesus menghilangkan semua tradisi seperti tradisi cuci, perpuluhan khusus, cara memperingati Sabat yang ekstrim, orang-orang berpikir bahwa Yesus dengan cara itu menggulingkan hukum Allah. Namun keinginan Yesus adalah untuk mengajarkan mereka hukum Taurat sebenarnya dan menjelaskan kepada mereka bahwa semua tradisi itu hanya embel-embel manusia saja yang tidak perlu.

Yang dikatakan Yesus adalah bahwa ada sesuatu yang mutlak yaitu hukum Allah yang berdaulat kekal. Allah telah mendirikan hukum-Nya yang mutlak dan kekal dan telah memberitahukannya kepada manusia. Dan sebagai Anak Allah, Yesus menyatakan bahwa Dia bukan datang untuk mengajarkan dan melalukan sesuatupun yang bertentangan dengan hukum Taurat itu, namun Dia datang untuk menggenapkannya seluruhnya.

Kita selalu mendengar bahwa sekarang keadaannya telah berubah dan Firman Allah sudah tidak berlaku lagi zaman sekarang ini. Malah kebenaran adalah sebaliknya. Alkitab selalu berpengaruh karena itu adalah Firman Allah yang sempurna dan tidak mungkin salah.

Dari luar kelihatannya dunia ini telah berubah banyak, namun sifat dasar manusia dan dosa dan pemberontakan manusia tetap sama saja dan tidak berubah sama sekali. Karakter pendosa itu sama dosanya seperti dulu. Pencuri di zaman Alkitab melakukan pencurian yang sama seperti sekarang. Mungkin dia pencuri yang lebih pintar sekarang, namun hatinya sama seperti dulu.

Dan konsep kasih masih berlaku sama seperti dulu. Yesus tidak menyamakan diri-Nya dengan orang-orang Farisi atau dengan Herodes atau Roma; malahan Dia dengan cara terbuka dan dengan penuh kasih menyamakan diri-Nya dengan mereka yang dibuang, yang sakit, yang berdosa dan yang membutuhkan bermacam-macam pertolongan.

Yesus memproklamirkan anugerah dan belas kasihan. Semua rabi lain membicarakan persyaratan luar, hanya Dia membicarakan masalah hati. Mereka meninggikan dirinya diatas orang-orang lain dan mereka ingin dilayani, sementara Yesus merendahkan diri-Nya terhadap orang lain dan menjadi Hamba mereka.

Yesus menggenapkan hukum Taurat dengan ajaran-ajaran-Nya, dimana Perjanjian Lama dipenuhi dengan lebih banyak penjelasan. Yesus menggenapkan hukum dengan mengartikannya lebih mendalam. Yesus menjelaskan arti asli hukum itu menjadi sesuatu yang selalu berhubungan dengan hati orang dan bukan kelakuan luar.

Yesus juga menggenapi hukum Taurat dengan memenuhi semua persyaratannya. Di dalam kehidupan-Nya Dia menjalankan setiap bagian hukum, tidak ada seorangpun yang mampu melakukan itu dan tidak ada orang yang akan dapat melakukan itu. Kebenaran-Nya sempurna dan Dia tidak pernah melanggar bagian terkecilpun dari hukum. Dia adalah teladan kebenaran yang sempurna.

Yesus menggenapkan hukum bukan saja dengan mengajarkannya sepenuhnya dan bukan saja dengan memenuhinya sepenuhnya. Dia sendiri adalah hukum sepenuhnya. Yesus sebagai Allah adalah kebenaran ilahi. Apa yang Dia katakan dan apa yang Dia lakukan mencerminkan siapakah Dia dulu, sekarang dan selama-lamanya.

 Khotbah di Bukit Dia mengajarkan apa yang sering disebut ‘Hukum emas’ di Matius 7:12, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Kasih Allah yang sempurna dicerminkan terbaik di dalam anak-anak-Nya pada saat mereka memperlakukan orang lain sama seperti mereka ingin diperlakukan juga. Dan caranya kita memperlakukan orang lain bukan bergantung kepada cara biasanya mereka memperlakukan kita atau bagaimana kita pikir mereka akan memperlakukan kita akan tetapi dengan cara kita sendiri ingin diperlakukan.

Ada suatu perubahan dimana Yesus memberikan kita perintah emas ini yang sebelumnya belum pernah ada. Prinsip dasar sebelum ini selalu disarankan secara negatif. Confucius mengajarkan, “Janganlah memperlakukan orang lain, jika Anda sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu.” Rabi Hillel mengatakan, “Apa yang dibenci Anda sendiri, janganlah Anda melakukan terhadap orang lain.” Ahli filsafat Yunani bernama Epictetus mengatakan, “Penderitaan yang Anda hindari, janganlah Anda memberi kepada orang lain.’

Semua pernyataan-pernyataan ini hanya mementingkan diri dan bukan merupakan pernyataan kasih. Bentuk-bentuk negatif dari peraturan ini bukan emas, karena semua ini bukan bermotivasi kasih namun bermotivasi ketakutan dan penyelamatan diri dan berdasarkan keasyikan dan kenyamanan diri saja.

Hanya Roh Kristus sendiri dapat memberikan kita kuasa untuk lebih mementingkan orang lain; dan mengasihi seperti Dia mengasihi kita. Yohanes 13:34 mengatakan, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.”

Yakobus 2:8 menamakannya “hukum utama” ketika dia membicarakan mengasihi sesamamu manusia. “Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kamu berbuat baik.” Jadi kasih memenuhi kedua hukum, yaitu perintah emas dan hukum utama.