TERANG TUHAN
Terang Tuhan Bersinar Bagimu

Taat Sampai Mati


Taat+sampai+mati+1024+x+768
Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Filipi 2:5-11)

Surat Filipi mengajar kepada kita bagaimana memiliki sukacita maksimal yaitu sukacita ketika justru melepas semuanya. Itulah kenosis atau pengosongan diri yang Yesus kerjakan. Berbicara tentang Kenosis atau pengosongan diri Yesus maka Surat Filipi 2 ini merupakan “backbone” doktrin Kenosis.

Mengapa Yesus harus rela taat sampai mati?
Bicara mengenai kenosis adalah bicara mengenai kesediaan melepaskan hak. Dalam konteks Tuhan Yesus, pengosongan diri-Nya sungguh melampaui akal manusia. Tuhan sepenuh-penuhnya secara aktif mengambil rupa seorang hamba. Verbum caro factum est. And the Word become flesh. Banyak orang yang menganggap teori pengosongan diri atau kenosis ini sebagai mengosongkan ke-Allah-an dari Kristus. Hal ini adalah salah!
Pengosongan diri atau kenosis adalah tidak mempertahankan sebuah hak, yaitu hak kesetaraan dengan Allah. Bukannya Kristus tidak menjadi Allah, melainkan haknya yang adalah Allah sementara waktu dikesampingkan.
Prinsip penting dari kenosis adalah:

1. Menjembatani jarak antara manusia dengan Allah yang suci.
Satu kalimat yang sering diperdebatkan adalah: “Apakah benar diatas kayu salib, Allah Bapa meninggalkan Allah Putra?”. Apakah didalam diri Allah Tritunggal terdapat dua kehendak yang berlawanan? Apakah benar Yesus Kristus mengalami keterpisahan dengan Allah Bapa?
Yang jelas Yesus mengalami kesendirian: malaikat-malaikat menyaksikan kelahiran Kristus, melayani Dia sesudah di cobai selama 40 hari – 40 malam, menjaga kubur Yesus dll; tetapi di Bukit Golgota, malaikat-malaikat itu tidak nampak, suara Allah tidak terdengar bahkan kegelapan di siang hari bolong merajalela. Allah Bapa tidak meninggalkan Yesus, yang terjadi adalah ketaatanNya, bukan hanya taat di dalam melaksanakan tugasNya tetapi bahkan ”… taat sampai mati…” (Fil 2:8). Mulai dari Filipi 2:7, Yesus mengosongkan diri-Nya (Yun, Eluton ekenpsen, membuat tidak berefek apa yang dimiliki), lalu Ia menjadi manusia (Yoh 1:1), kemudian mengambil rupa seorang hamba (Fil 2:9) dan kemudian Ia mati bahkan mati di atas kayu salib di antara penyamun – Dia dipersamakan dengan orang berdosa.
Dapatkah kita melihat degradasi status Yesus Kristus? Seolah-olah semakin lama semakin jauh jarak perjalanan yang Yesus tempuh meninggalkan Allah Bapa, namun Yesus rela melakukan semua itu demi mencari manusia yang berdosa. Jarak itu semakin jauh ketika manusia menolak Tuhan Yesus. Ketaatan Yesus untuk mati di kayu Salib menjadi jembatan, yang mengatasi jarak antara manusia berdosa dengan Allah yang suci. Yesus Kristus telah memberitahukan kepada kita bahwa perjalanan-Nya dari sorga untuk mencari orang berdosa, telah sampai pada titik paling bawah, paling hina, dan paling dalam yang tidak akan bisa dilakukan oleh siapapun juga.

2. Menggenapi tuntutan akibat dosa.
Mengapa Yesus Kristus harus rela taat sampai mati?
Sejak kita masih anak-anak bahkan sebelum bisa membaca dan mengenal hukum yang tertulis, Allah sudah menaruh di dalam hati kita naluri keadilan. Karena itulah pada diri Allah yang juga menuntut keadilan. Ini dasar pemikiran yang penting. Sampai di sini tidakkah kita sadar dan memliki perasaan bahwa setiap dosa dan pelanggaran menuntut nilai keadilan di dalamnya? Adakah dosa atau pelanggaran tanpa konsekwensi keadilan di dalamnya?
Untuk keadilan itulah Allah Bapa “mengijinkan” Yesus ke atas kayu salib, supaya genaplah tuntutan keadilan karena setiap pelanggaran yang telah kita lakukan. Yesus dipaku di atas kayu salib bukan karena kuasa Herodes atau Pilatus atau bahkan Imam Besar; semuanya itu terjadi karena penghakiman Allah. Di dalam Yesaya 53:10 dengan sangat jelas disebutkan bahwa Allah Bapa telah menetapkan untuk meremukkan Dia. Ini mungkin menjadi kalimat yang tidak pernah kita mengerti seutuhnya. Bapa menetapkan untuk menghakimi anak? Siapakah yang tega melakukannya?
Hanya satu hal yang memungkinkan hal itu terjadi: karena sifat dan karakter hukum dalam diri Allah yang suci dan itu bertentangan dengan dosa manusia yang jahat dan melukai hati Tuhan. Ini merupakan pengadilan yang berat.
Tanpa Yesus taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib rasanya tidak pernah akan ada pengampunan karena dosa dan kesalahan manusia. Itu sebabnya ketika Yesus berseru: “Sudah genap!” ini merupakan ekspresi kemenangan besar dan kekuasaan besar karena sekarang tidak ada lagi tuntutan atas dosa manusia yang belum terbayarkan. Semuanya sudah tuntas dan sempurna. Yesus Kristus tidak perlu naik ke kayu salib lagi, satu kali untuk selama-lamanya khasiat kayu salib terus dapat kita rasakan.

3. Menjamin dalam kemuliaan
Tanpa kematian tidak akan ada kemuliaan. Ini sebuah paradoks tetapi mengandung kebenaran sejati. Jika satu biji gandum tidak mati, ia tidak akan menghasilkan biji gandum yang lain. Pernahkah kita berpikir dan mendiskusikan sebuah pertanyaan ini: “apakah perampok di sebelah kanan Tuhan Yesus itu benar-benar sudah bertobat dan diselamatkan?” apakah yang menjadi indikasi bahwa dia sunguh-sunguh sudah bertobat?
Indikasi pertobatan yang pertama adalah:
_ Dia berkata kepada perampok yang lain: “Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima hukuman yang sama?… tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah” (Luk 23:41). Dia sangat mengerti konsep keadilan dan penghukuman atas sebuah pelanggaran.
_ Dia berkata kepada Yesus: “Ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Luk 23:-42-43). Di atas kayu salib tertulis: “Inilah Raja Orang Yahudi” dan mereka ternyata malah menghina Yesus, bagaimana mungkin seorang Raja nampak kalah dan tak berdaya? Perampok itu memiliki konsep kerajaan Allah yang eskatologis sifatnya. Imannya jauh melangkah sampai kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Itulah sebabnya Yesus berkata: “Hari ini juga engkau akan ada bersama dengan Aku di dalam Firdaus”.
Melalui ketaatan-Nya sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib; Yesus sedang menapaki jalan menuju kepada kemuliaan yang kekal. Maka peristiwa Kenosis Tuhan Yesus menjadi sia-sia jikalau tidak ada kebangkitan, bahkan Paulus menyebut jikalau Kristus tidak dibangkitkan maka sia-sialah iman percaya kita dan kita masih hidup di dalam dosa. Kematian Kristus di Kayu Salib menjadi jaminan akan keselamatan, kebangkitan-Nya dari kematian menjadi motivasi setiap kita hidup dalam kemuliaan.
Dietrich Boenhoefer (missionaris pada PD-1) menyebutkan bahwa “The cheap grace is grace without cross”. Dan dalam satu buku berjudul “Penderitaan Yesus Kristus” karangan John Piper.
Diakhir tulisannya, ada satu doa yang dinaikkannya pada Bapa di surga. Diantara penggalan doanya itu, ia mengatakan: “Saya berdoa agar perhatian kami tidak dialihkan dari tujuan utama penderitaan Kristus. Jagalah agar kami tidak dipengaruhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting seperti siapa yang membunuh Anak-Mu. Kami semua terlibat didalamnya karena dosa kami”.

Belum Ada Tanggapan to “Taat Sampai Mati”

Tinggalkan komentar